Sunday, May 16, 2010

Biar Cepet Nyusul...

Semalam aku dan Buya pergi ke resepsi pernikahan putra sulung temannya. Dari undangannya, aku yakin resepsinya pasti luar biasa! Aku jarang tertarik dengan resepsi, kecuali saudara dan kerabat tentunya, tapi kali ini aku bersikeras agar Buya mengajakku.

Dan itu memang resepsi paling WOW yang pernah aku datangi! Dekorasinya luar biasa, kue pengantinnya piece of art!!, dan musik pengiringnya—wow aku suka sekali musik pengiringnya! Rasa-rasanya air mata haru sudah mau keluar saking senangnya aku di sana.

Ketika kami datang, kedua mempelai sedang berjalan-jalan menyalami para undangan.
Sang mempelai pria menjabat tanganku erat sambil mengucapkan terima kasih atas kedatangan kami.
Sementara itu aku mengagumi gaun putih mempelai wanita.
Cantik sekali… Aku ingin pakai gaun seperti itu juga nanti.

“Makasih yaa sudah datang… Nih ada bingkisan kecil…”
Mempelai wanita memberiku sebuah kotak berpita coklat. Di dalamnya ada biskuit berbentuk figur kedua pengantin. Sayang amat kalo dimakan.
“Wuaaah… Makasih cici!”
“Iyaa, biar cepet nyusul. Hehehe… ”

Buya langsung menarikku menjauh,
Cepet nyusul, cepet nyusul! Enak aja! Tak jewer kamu nanti!

Mas Tukang Sayur Itu...

Aku sedang menonton tv ketika Bunda menyodorkan selembar lima puluh ribuan.
"Kaka, nih, kasihin ke Anto."
"Hah? Siapa Anto?"
"Tukang sayur. Tuh di bawah."

Nggak habis pikir juga sempat-sempatnya Bunda kenalan sama Mas Tukang Sayur itu. Barangkali mereka bertukar nomer hp juga -_-"

Setiap pagi Mas Anto berhenti di depan rumah dan membuat para penghuni melongok keluar saat dia dengan suara genit tingginya menyapa, "Yuuuurrr...." berhenti sejenak, lanjut lagi, "Sayuuuuurrrr...".
Lalu Bunda atau Hana akan bertransaksi dari balkon.
Sementara transaksi terjadi, aku dan adik-adikku akan kabur dan bersembunyi. Karena seringkali setelah itu kami disuruh ke bawah untuk membayar Mas Anto dan menerima belanjaan.

Walaupun enggan untuk mengangkat dan menggerakkan kaki ke bawah, tapi kadang aku menantikan juga saat bertransaksi dengannya.
Bukan, bukan karena Mas Anto ganteng -walaupun memang iya, dia hitam manis dan wajahnya bersih. OMG ngomong apa gue barusan?? Tapi aku menantikannya karena aku selalu senang melihatnya.

Tenang saudara-saudara, notes ini bukan bercerita tentang perasaan terpendam saya pada si Mas Tukang Sayur itu. Jangan keburu mengernyitkan hidung, dan silahkan lanjutkan membaca.

Aku tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Pernah suatu ketika Mas Anto itu sakit, jadi tukang sayur yang singgah di depan rumah kami hari itu seorang bapak-bapak tukang sayur yang sama sekali asing. Dan saat itu aku benar-benar menyadari perbedaan mereka.

Dibandingkan bapak itu, Mas Anto masih sangat muda, selalu memakai topi, dan entah kenapa aku memilki kesan bahwa dia sangat mensyukuri tiap detik hidupnya. Dia ramah, selalu tersenyum, dan berbicara dengan bahasa yang amat sopan. Bahkan ketika mood Bunda sedang tidak begitu bagus dan nada bicaranya terdengar galak saat sedang bertransaksi, dia tetap melayani dengan senyum dan tutur kata yang amat halus. (Di saat orang asing udah berpikir "buset, gue dimarahin!". No offense, Mom :p)

Setiap transaksi terjadi, walaupun uang yang dikasihnya selembar lima puluh ribu atau seratus ribu, dia selalu punya uang kembalian. Wow, kantong jaketnya tebal lho!
Mendapati gerobaknya nyaris kosong, aku bertanya, "Wah udah mau habis Mas dagangannya?"
Dan dia akan tersenyum, "Iya, nanti saya ambil lagi, terus jualan lagi."
"Makasih ya, Mas" sambil menerima belanjaan dari teralis pagar.
"Iyah, manga, neng, manga..." (maksudnya 'mangga' [bahasa sunda = silahkan], tapi huruf 'G'-nya terlalu meluruh rupanya, jadi aku dengernya 'manga', red.)

Kemudian aku akan menatapnya sebentar sampai dia mengayuh pergi. Entah menuju rumah-rumah berikutnya, atau ke pasar ngambil dagangan lagi.

Aku sering bertanya-tanya dalam hati.
Berapa usianya? Apakah dia sudah menikah? Berapa mulut di rumahnya yang harus diberi makan? Uang di kantong jaketnya itu banyak sekali, tapi berapa bagiankah yang menjadi untung bersihnya? Berapa lama dia harus jadi tukang sayur?
Lagi-lagi. Pertanyaan yang tidak kutemukan jawabannya. Tidak sampai hati juga aku bertanya langsung.

Nah, kembali ke waktu Mas Anto sakit, bapak-bapak penjual sayur yang asing ini nampak sangat kontras dibandingkan dengannya! Tidak banyak bicara, tidak juga tersenyum. Kegetiran nampak jelas di wajahnya. Entah karena dagangannya masih banyak, atau karena dia capek mengayuh berkeliling, atau harus memegang kenyataan bahwa dia hanyalah seorang tukang sayur, atau barangkali hari itu dia memang sedang badmood saja.

Ketika aku mengambil belanjaan dan mengucapkan terima kasih, si Mang itu tidak membalas dengan senyum seperti Mas Anto. Wajahnya kecut saat mengayuh gerobaknya.
Aku ingat sesaat sesudah aku mengambil belanjaan, aku langsung berucap pada diri sendiri,
Hih! Meuni jutek pisan Mang Tukang Sayur teh!

Bukan, bukan salah dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan. Mungkin pada saat itu aku hanya sedang lupa bahwa tidak semua orang melihat dunia dan segala kenyataan di atasnya sebagai sesuatu yang indah dan patut disyukuri.

Namun sejak saat itu aku semakin kagum melihat Mas Anto. Aku tidak pernah melihatnya berwajah masam, tidak juga kerutan di dahi. Aku tidak pernah mendapatinya sedang badmood. Nada suaranya ketika menjajakan dagangan pun tak berubah sejak pertama dia ke rumah kami.

Meskipun dahinya berkeringat dan kadang aku meringis karena gerobaknya menebarkan bebauan khas pasar, BBM naik dan harga-harga ikut naik, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang sedang bersusah hati.

Orang yang hebat, Mas Anto itu. Semoga keuntungannya berlipat ganda biar dia bisa membuka lapak dan tidak harus mengayuh kesana-kemari sepanjang hari.

"Manga, neng, manga..." katanya padaku pagi ini.

Cerita Terlalu Sore

Duduk sendirian di pintu masuk ruangan, dengan sejumlah barang dagangan tersusun rapi di meja di hadapnya. Gadis itu menegakkan kepala dan mengusap-usap lehernya yang berat. Tentu saja, hampir tiga jam dia asyik menunduk dengan bukunya. Sesekali dia mengangkat kepala untuk melayani satu-dua orang yang hanya membeli permen atau keripik pedas. Lalu dia kembali tenggelam dalam bacaannya.

Hari sudah amat sore untuk berjualan. Mungkin tenaganya tidak terlalu dibutuhkan pula. Tak banyak orang lewat di sepanjang lorong pada saat seperti itu. Teman-temannya keheranan dengan keputusannya menjaga toko seorang diri sore itu. Dia menepis, "Aku baru sekali jaga toko. Lagipula aku sudah memilih hari ini dan besok. Tak masalah walau harus sendirian pun."

Alasan itu tidak salah. Tapi sejak dia meminjam buku yang asyik dibacanya itu, alasan yang lebih essensial yang membuatnya bersikeras untuk menetap di sana adalah karena dia butuh tempat untuk sendirian dengan bukunya.

Ah, ketenangan. Akhirnya... Dia tersenyum dalam hati ketika teman terakhirnya pulang.
Dia jarang berada di kampus sampai sesore itu. Sendirian pula. Baru tersadar, cahaya makin meremang.

Langit mendung dan lorong yang sepi, ditambah kesendirian - sudah lebih dari cukup untuk membuat imaji tenggelam dalam atmosfer horror di kepalanya. Dia mulai mengkhayalkan bayangan-bayangan dan suara-suara dalam mimpi buruknya. Lalu tiba-tiba hp nya berbunyi. Tulisan "Ayah" terpampang di layar. Ketakutan tak berdasar yang nyaris mendekati puncak itu perlahan surut, dan dia bernafas lega.
"Ada apa, Yah?" tukasnya.
"Ayah lagi di toko bangunan, di jalan Soekarno-Hatta. Sampai kampusmu kira-kira tiga puluh menit lagi."
Dia melirik jam lalu merengut. Tiga puluh menit lagi? Huuh. Seharusnya aku sudah dijemput sejak tiga puluh menit yang lalu!
"Ya sudah..." jawab gadis itu, pasrah. Tak ada gunanya juga mengeluh.
Tiba-tiba perutnya bergemuruh, "Eh Ayah, aku lapar... Tadi nggak sempat makan. Belikan makanan, dong," pintanya.
"Iya, sama. Aku dan adikmu pun belum makan. Nanti kita ke restoran, ya?" wajahnya langsung sumringah mendengarnya.
"Asyik... Bener ya? Ke restoran ya?"
"Iyaaa... Tunggu tiga puluh menit lagi, oke?"
"Oke, dadaah."

Gadis itu kembali menunduk pada bukunya. Tapi sekarang sambil tersenyum. Gemuruh di perutnya mengingatkan bahwa dia memang belum makan sejak siang. Rasa lapar mulai menyiksanya.

Tapi membayangkan akan pergi ke restoran dengan Ayah dan adik laki-lakinya membuatnya sanggup bertahan lebih lama lagi. Dia selalu senang bepergian dengan ayahnya. Bukan karena ayahnya akan mengizinkan dia memesan apapun, tapi juga karena dia akan menggenggam dialog dan nuansa menyenangkan yang akan diperolehnya nanti.
Perutnya bergemuruh lagi. Belum pernah keripik dan cemilan-cemilan itu tampak begitu menggoda. Tapi tidak!, katanya pada diri sendiri. Aku tidak mau merusak nafsu makanku saat di restoran nanti!, pikirnya mantap.

Baru saja dia mencoba kembali berkonsentrasi pada bacaannya, sang Ketua Senat datang memasuki ruangan. Mereka berbasa-basi sebentar, sampai akhirnya memutuskan untuk menutup toko yang dijalankan oleh anggota Senat itu.

Benar, hari sudah terlalu sore.

Mereka berpisah di tangga. Sang Ketua Senat menghampiri kawannya, sementara dia berjalan menuju foodcourt sambil memandang langit gelap. Dingin amat menusuk meski hujan tak terlalu deras. Hanya awan yang menggumpal kelabu dan titik-titik gerimis.

Sulit menemukan tempat kosong di foodcourt pada hari seperti itu. Semua orang enggan untuk keluar. Mendadak foodcourt terasa kurang lapang untuk mereka semua.

Dia berjalan melewati gerai makanan dengan aroma pastry nenas kesukaannya. Perutnya makin bergemuruh. Tidak!, perintahnya pada perutnya. Akan kusimpan nafsu makanku untuk nanti, bersama Ayah.

Dia terus berlalu ke bagian foodcourt yang paling dalam. Jendela-jendela besar yang meniupkan angin lembab menjadi kesimpulan yang cukup deskriptif mengapa masih banyak bangku kosong di situ.

Dia duduk di tempat yang agak jauh dari jendela. Dibuka bukunya, dan langsung melanjutkan membaca. Mengabaikan udara dingin yang masih menggapai, maupun kenyataan bahwa dia seorang diri di dalam keramaian. Ah, aku tak peduli. Aku akan mendapat sore yang menyenangkan bersama Ayah. Masa bodoh betapa menyebalkan dan dingin. Lapar, aku masih bisa tahan. Dia meyakinkan diri.
Lalu hp-nya bergetar. Sms dari Ayah,
"Kak, belilah sesuatu untuk kita makan bersama di mobil. Kita nggak jadi ke restoran. Sudah terlalu sore."

Sunday, March 7, 2010

Moratorium

Jumat pagi.

Aku sedang mengikuti mata kuliah Bimbingan Konseling Pendidikan (BKP). Mendengarkan penjelasan Bu Ellen tentang kepribadian berdasarkan tahap perkembangan, sementara tangan kananku dengan sendirinya membuat coretan-coretan yang belakangan kukenal sebagai unconscious doodles.
Gambar Doraemon. Lucunya...
Lalu Bu Ellen bertanya, "Kalian sekarang ada di tahap perkembangan apa sih?"
"Adolescence..." jawab sebagian.
"Adolescence? Masak...?" dahi Bu Ellen berkerut.
"Young adulthood..." ralatku dan sebagian mahasiswa lainnya.
Bu Ellen melanjutkan kuliahnya, sementara aku terdiam memandangi gambar Doraemon di diktatku itu lekat-lekat.

Young adulthood? Secepat itukah?

Masih sambil memandangi gambar Doraemon-ku itu, aku terhenyak untuk beberapa saat.
Astaga... Ke mana waktu telah pergi? Rasa-rasanya baru kemarin tinggiku tak lebih dari pinggang ayahku dan terus mengoceh tanpa henti mempertanyakan pada dunia kapankah aku jadi dewasa.

Dalam satu tarikan nafas aku sudah duduk di bangku perkuliahan menyandang status 'dewasa muda'.
Siapa tahu hanya dalam satu kedipan mata aku sudah harus memikul berbagai tanggung jawab dan mengemban kewajiban untuk merealisasikan semua ekspektasi eksternal dan internal.


Aku ingat ketika aku baru masuk SMP, aku dan adik-adikku masih gemar duduk bersama setiap hari Minggu, menunggu Doraemon, kartun favorit kami. Aku tak pernah menggubris komentar tanteku, "Ih malu-maluin aja. Udah SMP kok masih suka nonton gituan."
Memang apa salahnya? Aku tak melihat alasan untuk berhenti menyukai Doraemon.
Aku tak pernah mengerti mengapa orang berhenti melakukan hal-hal yang disukainya pada saat kanak-kanak begitu mereka beranjak dewasa.

Kemudian aku melihat diriku. Aku sendiri sudah lama tidak mengikuti serial kartun yang selama 20 tahun diputar ulang itu.
Bukan, bukan Doraemon-nya yang kupermasalahkan di sini. Tapi lebih pada caraku menghidupkan waktu.
Tidak lagi duduk di depan TV menikmati sederet kartun di RCTI, tidak lagi merengek-rengek pada ayahku agar dia membawa kami bepergian, tidak lagi berlari-larian di dalam rumah bersama adik-adikku.

Apakah rutinitas dewasa telah meredam jiwa kanak-kanak dalam diri kita?


Tiba-tiba aku rindu akan itu semua.
Ketika aku masih kanak-kanak, kutemukan banyak sekali hal menyenangkan di dunia. Rasa ingin tahu dan eksplorasi bagaikan krayon warna-warni yang memenuhi lembaran waktu. Setiap hari selalu kutemukan warna dan coretan baru untuk kutuangkan dalam lembar itu. Persis seperti hukum Tabula Rasa John Locke.

Anak-anak melihat warna baru itu dengan penuh kekaguman dan excitement. Karena di mata polos mereka, semua adalah pertama kalinya.

Tidak ada prasangka, tidak ada rasa takut.
Bebas bereksperimen dengan apapun tanpa harus tenggelam dalam pertimbangan yang sesungguhnya tidak perlu.


Sedangkan aku yang sekarang, mau tak mau harus menghayati bahwa anteseden selalu disertai dengan konsekuen. Tak bisa sembarang melompat atau mencoretkan warna.
Semua tindakan harus disertai dengan pemikiran dan perencenaan yang matang, baru dilakukan.

Di mata anak-anak yang menyukai berbagai warna pada kertasnya, dunia bagaikan jutaan krayon.
Mereka tak ragu untuk menorehkan semua warnanya dalam berbagai bentuk.

Sedangkan orang dewasa harus berpikir gambar apa yang hendak kubuat? Warna apa yang akan kupakai? Bagaimana aku harus memulai? Bagaimana kalau tidak seorangpun menganggap gambarku bagus? Bagaimana kalau gambarku tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan dalam benakku?

Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak rasa takut.
Amat bertolak belakang dengan anak-anak yang tanpa ragu membuat coretan pertamanya segera sesudah menggenggam krayon di tangan.

Seberapa besarkah effort yang diperlukan orang dewasa untuk mengembalikan excitement itu?
Di sela-sela rutinitas. Di antara masalah-masalah kehidupan.

Aku selalu meyakinkan diri dengan berupaya melihat ini semua sebagai tantangan.
Puzzle lain untuk diselesaikan.

Seandainya jiwa kanak-kanak itu tak berubah hingga manusia tumbuh dewasa, tentu tidak akan ada istilah distress.

Karena bagi anak-anak yang polos, hitam hanyalah sekedar warna baru.
Bukan ancaman.

Sunday, January 31, 2010

A Man I Called Dad


Aku tumbuh dengan mengamati punggung ayahku yang sering bepergian. Yes, he travels a lot.

Saat aku kecil dan kami masih tinggal di Malang, ia kerap bolak-balik ke Pasuruan. Pergi saat hari masih gelap dan tiba di rumah ketika aku sudah terlelap. Jika ayahku bepergian sampai satu bulan lamanya, setiap mendengar ia pulang, aku dan adik-adikku akan berlarian dan bersembunyi di bawah meja, berharap ia menemukan kami dan menyodorkan banyak oleh-oleh. Aku ingat aku sering meneteskan air mata saat itu.

Ketika ia mulai mengelola perkebunan di Sukabumi, ia membawa serta kami sekeluarga. Kata Bunda supaya kami tidak harus terlalu lama berpisah dengannya. Tapi tetap saja, ia masih juga bepergian. Ke Blitar, ke Surabaya, dan entah ke mana lagi aku tidak ingat.

Kami pindah ke Bandung saat usiaku 12 tahun. Waktu itu ayahku sering ke Jakarta, dan jarak tempuh Sukabumi-Jakarta jauh sekali, mengingat belum ada tol Cipularang. Jadi tinggallah kami di Bandung hingga sekarang. Namun ia masih juga selalu bepergian.

Suatu hari—satu tahun setelah kami tinggal di Bandung, aku bertanya padanya,
“Buya sampai kapan kayak gini terus?”
“Apa maksudmu ‘kayak gini terus’?”
“Pergi-pergi terus.”
Ia menjawab, “Lima tahun lagi aku udah nggak banyak bepergian kayak gini lagi,”
Lima tahun lagi, berarti umurku 18 tahun.
“Tapi lima tahun lagi, kamu udah nggak butuh aku lagi.”
Aku benar-benar tercekat saat itu. Bagaimana mungkin seorang anak bisa berhenti membutuhkan ayahnya? Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi. Hanya menyimpan dialog singkat itu ke dalam long term memory-ku.


Sekarang usiaku 19 tahun. Ayahku ingkar janji.

Ia masih juga selalu bepergian. Dan kali ini daftar tempat yang dikunjunginya makin bertambah banyak saja. Pontianak, Lumajang, Jakarta juga!
Pernah aku menagih janji, ayahku malah menjawab,
“Ngapain aku pensiun? Nggak mau aku.”
Sebagai anak manja yang sangat dependen, aku sering marah dalam hati, “Katanya lima tahun lagi nggak akan pergi-pergi lagi! Mana?! Sekarang udah lewat enam tahun!!!”
Tapi bagian kecil dalam diriku—individu yang semakin dekat dengan masa depannya—sangat mengerti dengan sepenuh hati akan semua itu. Ayahku berhasil memenuhi mimpinya. Aku yakin ia telah menjadi sosok yang jauh lebih baik dari yang pernah dicita-citakannya—sesuatu yang diam-diam kuimpikan juga dalam hidupku. Dan aku sangat bangga padanya. Atas pencapaiannya. Semuanya.

Aku akan sangat membenci diriku jika keegoisanku ini harus mengubur semua itu.

Sekarang aku belajar untuk menerimanya dengan sudut pandang yang berbeda.
Temanku, Erlin, ketika aku menceritakan padanya tentang ini, ia berkata,
“Heh, Dil! Kamu tau nggak, ada lho anak yang nangis di kamarnya, membenci bapaknya, gara-gara bapaknya pengangguran kerjaannya diem di rumah terus. Kamu harusnya bersyukur, bapakmu pergi berarti dia punya kerjaan, berarti dia punya uang buat ngasih kamu makan, buat ngebayarin kuliah kamu!”

Dan aku sadar. Aku marah bukan karena ia tidak menepati janji sehingga jarang di rumah. Aku cuma tidak tahan dengan perpisahan.
Hingga kinipun mataku masih sering berkaca-kaca jika harus mengantarnya ke stasiun atau bandara dan memandangi punggungnya yang makin menjauh lalu menghilang ditelan keramaian.
Aku benci jika aku bangun dan mendapati ayahku sudah tidak di rumah karena harus mengejar pesawat atau travel di pagi buta. Meskipun aku tahu, sebelum pergi ia selalu berdoa untuk kami—di saat seharusnya kamilah yang mendoakannya.


Usiaku 19 tahun. Ayahku bepergian mungkin sejak sebelum aku lahir.
Sebagian dari diriku sudah lama cukup terbiasa dengan kenyataan ini. Paling tidak, saat ini keadaan sudah jauh lebih baik. Frekuensi bepergian ayahku tidak sesering dulu, meski saat di rumahpun tak jarang ia sibuk.

Tapi meskipun kening botaknya selalu berkerut setelah semalam suntuk di depan komputer, ia selalu menyempatkan lebih banyak waktu untuk kami menertawakan kepala botak dan perut buncitnya :D

Orang-orang di tempatnya bekerja menganggapnya sebagai sosok workaholic yang mengerikan, bertanduk, dan tidak bisa tertawa. Tapi di rumah ia adalah Pak Cendol-Bulat-Item-Pendek-Botak yang selalu jadi bulan-bulanan kami.
Ia makan secepat penghisap debu dan semua lagu yang dinyanyikannya berubah jadi dangdut!

Ayahku.
Luar biasa sekali! ♡ ♡ ♡

Tuesday, January 19, 2010

Life Is

Life can be hard, life can be painful. But life is filled with possibilities, and men are blessed with the chances they've been given. To make it precious, and worth to live for.
Pidato singkat Meryl Streep dalam sebuah ajang pemberian award. Great speech, Meryl!

Foggy Images

Pandanganku tentang kesempurnaan dan kebahagiaan sedikit banyak teracuni oleh apa yang aku internalisasi selama ini:
Film-film yang membuat air mata meleleh,
Lagu yang memproyeksikan mimpi dan realita,
Buku si pencipta ambisi,
Juga obrolan ringan namun mensugesti bagai mantra

Idealisme itu, aku rasa, barang bergeser sedikitpun tidak
Namun tanjakan menuju ke sana selalu terombang-ambing dalam ombak mengerikan bernama perubahan
Dan manusia adalah makhluk rapuh yang mudah sekali kehilangan orientasi

Kadang semua itu tampak begitu nyata,
Fluktuasi hormon yang diciptakan begitu membingungkan
Bisa menghasilkan euphoria atau bahkan air mata

Kali ini
Bayang itu agak berkabut juga kabur
Dan anehnya aku tidak begitu memikirkannya
Atau aku kira begitu

Adakah manusia berjalan menyusuri tangga itu tanpa sungguh peduli apa yang berada di atas sana?