Sunday, January 31, 2010

A Man I Called Dad


Aku tumbuh dengan mengamati punggung ayahku yang sering bepergian. Yes, he travels a lot.

Saat aku kecil dan kami masih tinggal di Malang, ia kerap bolak-balik ke Pasuruan. Pergi saat hari masih gelap dan tiba di rumah ketika aku sudah terlelap. Jika ayahku bepergian sampai satu bulan lamanya, setiap mendengar ia pulang, aku dan adik-adikku akan berlarian dan bersembunyi di bawah meja, berharap ia menemukan kami dan menyodorkan banyak oleh-oleh. Aku ingat aku sering meneteskan air mata saat itu.

Ketika ia mulai mengelola perkebunan di Sukabumi, ia membawa serta kami sekeluarga. Kata Bunda supaya kami tidak harus terlalu lama berpisah dengannya. Tapi tetap saja, ia masih juga bepergian. Ke Blitar, ke Surabaya, dan entah ke mana lagi aku tidak ingat.

Kami pindah ke Bandung saat usiaku 12 tahun. Waktu itu ayahku sering ke Jakarta, dan jarak tempuh Sukabumi-Jakarta jauh sekali, mengingat belum ada tol Cipularang. Jadi tinggallah kami di Bandung hingga sekarang. Namun ia masih juga selalu bepergian.

Suatu hari—satu tahun setelah kami tinggal di Bandung, aku bertanya padanya,
“Buya sampai kapan kayak gini terus?”
“Apa maksudmu ‘kayak gini terus’?”
“Pergi-pergi terus.”
Ia menjawab, “Lima tahun lagi aku udah nggak banyak bepergian kayak gini lagi,”
Lima tahun lagi, berarti umurku 18 tahun.
“Tapi lima tahun lagi, kamu udah nggak butuh aku lagi.”
Aku benar-benar tercekat saat itu. Bagaimana mungkin seorang anak bisa berhenti membutuhkan ayahnya? Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi. Hanya menyimpan dialog singkat itu ke dalam long term memory-ku.


Sekarang usiaku 19 tahun. Ayahku ingkar janji.

Ia masih juga selalu bepergian. Dan kali ini daftar tempat yang dikunjunginya makin bertambah banyak saja. Pontianak, Lumajang, Jakarta juga!
Pernah aku menagih janji, ayahku malah menjawab,
“Ngapain aku pensiun? Nggak mau aku.”
Sebagai anak manja yang sangat dependen, aku sering marah dalam hati, “Katanya lima tahun lagi nggak akan pergi-pergi lagi! Mana?! Sekarang udah lewat enam tahun!!!”
Tapi bagian kecil dalam diriku—individu yang semakin dekat dengan masa depannya—sangat mengerti dengan sepenuh hati akan semua itu. Ayahku berhasil memenuhi mimpinya. Aku yakin ia telah menjadi sosok yang jauh lebih baik dari yang pernah dicita-citakannya—sesuatu yang diam-diam kuimpikan juga dalam hidupku. Dan aku sangat bangga padanya. Atas pencapaiannya. Semuanya.

Aku akan sangat membenci diriku jika keegoisanku ini harus mengubur semua itu.

Sekarang aku belajar untuk menerimanya dengan sudut pandang yang berbeda.
Temanku, Erlin, ketika aku menceritakan padanya tentang ini, ia berkata,
“Heh, Dil! Kamu tau nggak, ada lho anak yang nangis di kamarnya, membenci bapaknya, gara-gara bapaknya pengangguran kerjaannya diem di rumah terus. Kamu harusnya bersyukur, bapakmu pergi berarti dia punya kerjaan, berarti dia punya uang buat ngasih kamu makan, buat ngebayarin kuliah kamu!”

Dan aku sadar. Aku marah bukan karena ia tidak menepati janji sehingga jarang di rumah. Aku cuma tidak tahan dengan perpisahan.
Hingga kinipun mataku masih sering berkaca-kaca jika harus mengantarnya ke stasiun atau bandara dan memandangi punggungnya yang makin menjauh lalu menghilang ditelan keramaian.
Aku benci jika aku bangun dan mendapati ayahku sudah tidak di rumah karena harus mengejar pesawat atau travel di pagi buta. Meskipun aku tahu, sebelum pergi ia selalu berdoa untuk kami—di saat seharusnya kamilah yang mendoakannya.


Usiaku 19 tahun. Ayahku bepergian mungkin sejak sebelum aku lahir.
Sebagian dari diriku sudah lama cukup terbiasa dengan kenyataan ini. Paling tidak, saat ini keadaan sudah jauh lebih baik. Frekuensi bepergian ayahku tidak sesering dulu, meski saat di rumahpun tak jarang ia sibuk.

Tapi meskipun kening botaknya selalu berkerut setelah semalam suntuk di depan komputer, ia selalu menyempatkan lebih banyak waktu untuk kami menertawakan kepala botak dan perut buncitnya :D

Orang-orang di tempatnya bekerja menganggapnya sebagai sosok workaholic yang mengerikan, bertanduk, dan tidak bisa tertawa. Tapi di rumah ia adalah Pak Cendol-Bulat-Item-Pendek-Botak yang selalu jadi bulan-bulanan kami.
Ia makan secepat penghisap debu dan semua lagu yang dinyanyikannya berubah jadi dangdut!

Ayahku.
Luar biasa sekali! ♡ ♡ ♡

No comments:

Post a Comment