Duduk sendirian di pintu masuk ruangan, dengan sejumlah barang dagangan tersusun rapi di meja di hadapnya. Gadis itu menegakkan kepala dan mengusap-usap lehernya yang berat. Tentu saja, hampir tiga jam dia asyik menunduk dengan bukunya. Sesekali dia mengangkat kepala untuk melayani satu-dua orang yang hanya membeli permen atau keripik pedas. Lalu dia kembali tenggelam dalam bacaannya.
Hari sudah amat sore untuk berjualan. Mungkin tenaganya tidak terlalu dibutuhkan pula. Tak banyak orang lewat di sepanjang lorong pada saat seperti itu. Teman-temannya keheranan dengan keputusannya menjaga toko seorang diri sore itu. Dia menepis, "Aku baru sekali jaga toko. Lagipula aku sudah memilih hari ini dan besok. Tak masalah walau harus sendirian pun."
Alasan itu tidak salah. Tapi sejak dia meminjam buku yang asyik dibacanya itu, alasan yang lebih essensial yang membuatnya bersikeras untuk menetap di sana adalah karena dia butuh tempat untuk sendirian dengan bukunya.
Ah, ketenangan. Akhirnya... Dia tersenyum dalam hati ketika teman terakhirnya pulang.
Dia jarang berada di kampus sampai sesore itu. Sendirian pula. Baru tersadar, cahaya makin meremang.
Langit mendung dan lorong yang sepi, ditambah kesendirian - sudah lebih dari cukup untuk membuat imaji tenggelam dalam atmosfer horror di kepalanya. Dia mulai mengkhayalkan bayangan-bayangan dan suara-suara dalam mimpi buruknya. Lalu tiba-tiba hp nya berbunyi. Tulisan "Ayah" terpampang di layar. Ketakutan tak berdasar yang nyaris mendekati puncak itu perlahan surut, dan dia bernafas lega.
"Ada apa, Yah?" tukasnya.
"Ayah lagi di toko bangunan, di jalan Soekarno-Hatta. Sampai kampusmu kira-kira tiga puluh menit lagi."
Dia melirik jam lalu merengut. Tiga puluh menit lagi? Huuh. Seharusnya aku sudah dijemput sejak tiga puluh menit yang lalu!
"Ya sudah..." jawab gadis itu, pasrah. Tak ada gunanya juga mengeluh.
Tiba-tiba perutnya bergemuruh, "Eh Ayah, aku lapar... Tadi nggak sempat makan. Belikan makanan, dong," pintanya.
"Iya, sama. Aku dan adikmu pun belum makan. Nanti kita ke restoran, ya?" wajahnya langsung sumringah mendengarnya.
"Asyik... Bener ya? Ke restoran ya?"
"Iyaaa... Tunggu tiga puluh menit lagi, oke?"
"Oke, dadaah."
Gadis itu kembali menunduk pada bukunya. Tapi sekarang sambil tersenyum. Gemuruh di perutnya mengingatkan bahwa dia memang belum makan sejak siang. Rasa lapar mulai menyiksanya.
Tapi membayangkan akan pergi ke restoran dengan Ayah dan adik laki-lakinya membuatnya sanggup bertahan lebih lama lagi. Dia selalu senang bepergian dengan ayahnya. Bukan karena ayahnya akan mengizinkan dia memesan apapun, tapi juga karena dia akan menggenggam dialog dan nuansa menyenangkan yang akan diperolehnya nanti.
Perutnya bergemuruh lagi. Belum pernah keripik dan cemilan-cemilan itu tampak begitu menggoda. Tapi tidak!, katanya pada diri sendiri. Aku tidak mau merusak nafsu makanku saat di restoran nanti!, pikirnya mantap.
Baru saja dia mencoba kembali berkonsentrasi pada bacaannya, sang Ketua Senat datang memasuki ruangan. Mereka berbasa-basi sebentar, sampai akhirnya memutuskan untuk menutup toko yang dijalankan oleh anggota Senat itu.
Benar, hari sudah terlalu sore.
Mereka berpisah di tangga. Sang Ketua Senat menghampiri kawannya, sementara dia berjalan menuju foodcourt sambil memandang langit gelap. Dingin amat menusuk meski hujan tak terlalu deras. Hanya awan yang menggumpal kelabu dan titik-titik gerimis.
Sulit menemukan tempat kosong di foodcourt pada hari seperti itu. Semua orang enggan untuk keluar. Mendadak foodcourt terasa kurang lapang untuk mereka semua.
Dia berjalan melewati gerai makanan dengan aroma pastry nenas kesukaannya. Perutnya makin bergemuruh. Tidak!, perintahnya pada perutnya. Akan kusimpan nafsu makanku untuk nanti, bersama Ayah.
Dia terus berlalu ke bagian foodcourt yang paling dalam. Jendela-jendela besar yang meniupkan angin lembab menjadi kesimpulan yang cukup deskriptif mengapa masih banyak bangku kosong di situ.
Dia duduk di tempat yang agak jauh dari jendela. Dibuka bukunya, dan langsung melanjutkan membaca. Mengabaikan udara dingin yang masih menggapai, maupun kenyataan bahwa dia seorang diri di dalam keramaian. Ah, aku tak peduli. Aku akan mendapat sore yang menyenangkan bersama Ayah. Masa bodoh betapa menyebalkan dan dingin. Lapar, aku masih bisa tahan. Dia meyakinkan diri.
Lalu hp-nya bergetar. Sms dari Ayah,
"Kak, belilah sesuatu untuk kita makan bersama di mobil. Kita nggak jadi ke restoran. Sudah terlalu sore."
dari Si sotoy :
ReplyDeletebaca yang ini bisa bayangin kamu lagi di kampus sendirian, autis dengan bukunya,akhirnya emang ga sesuai harapan dan udh lama juga kali dr wkt saya kasih comment ini, tapi suatu saat nanti mungkin seseorang akan bisa tidak membuat kamu menunggu lagi, maybe sometime.