Sunday, March 7, 2010

Moratorium

Jumat pagi.

Aku sedang mengikuti mata kuliah Bimbingan Konseling Pendidikan (BKP). Mendengarkan penjelasan Bu Ellen tentang kepribadian berdasarkan tahap perkembangan, sementara tangan kananku dengan sendirinya membuat coretan-coretan yang belakangan kukenal sebagai unconscious doodles.
Gambar Doraemon. Lucunya...
Lalu Bu Ellen bertanya, "Kalian sekarang ada di tahap perkembangan apa sih?"
"Adolescence..." jawab sebagian.
"Adolescence? Masak...?" dahi Bu Ellen berkerut.
"Young adulthood..." ralatku dan sebagian mahasiswa lainnya.
Bu Ellen melanjutkan kuliahnya, sementara aku terdiam memandangi gambar Doraemon di diktatku itu lekat-lekat.

Young adulthood? Secepat itukah?

Masih sambil memandangi gambar Doraemon-ku itu, aku terhenyak untuk beberapa saat.
Astaga... Ke mana waktu telah pergi? Rasa-rasanya baru kemarin tinggiku tak lebih dari pinggang ayahku dan terus mengoceh tanpa henti mempertanyakan pada dunia kapankah aku jadi dewasa.

Dalam satu tarikan nafas aku sudah duduk di bangku perkuliahan menyandang status 'dewasa muda'.
Siapa tahu hanya dalam satu kedipan mata aku sudah harus memikul berbagai tanggung jawab dan mengemban kewajiban untuk merealisasikan semua ekspektasi eksternal dan internal.


Aku ingat ketika aku baru masuk SMP, aku dan adik-adikku masih gemar duduk bersama setiap hari Minggu, menunggu Doraemon, kartun favorit kami. Aku tak pernah menggubris komentar tanteku, "Ih malu-maluin aja. Udah SMP kok masih suka nonton gituan."
Memang apa salahnya? Aku tak melihat alasan untuk berhenti menyukai Doraemon.
Aku tak pernah mengerti mengapa orang berhenti melakukan hal-hal yang disukainya pada saat kanak-kanak begitu mereka beranjak dewasa.

Kemudian aku melihat diriku. Aku sendiri sudah lama tidak mengikuti serial kartun yang selama 20 tahun diputar ulang itu.
Bukan, bukan Doraemon-nya yang kupermasalahkan di sini. Tapi lebih pada caraku menghidupkan waktu.
Tidak lagi duduk di depan TV menikmati sederet kartun di RCTI, tidak lagi merengek-rengek pada ayahku agar dia membawa kami bepergian, tidak lagi berlari-larian di dalam rumah bersama adik-adikku.

Apakah rutinitas dewasa telah meredam jiwa kanak-kanak dalam diri kita?


Tiba-tiba aku rindu akan itu semua.
Ketika aku masih kanak-kanak, kutemukan banyak sekali hal menyenangkan di dunia. Rasa ingin tahu dan eksplorasi bagaikan krayon warna-warni yang memenuhi lembaran waktu. Setiap hari selalu kutemukan warna dan coretan baru untuk kutuangkan dalam lembar itu. Persis seperti hukum Tabula Rasa John Locke.

Anak-anak melihat warna baru itu dengan penuh kekaguman dan excitement. Karena di mata polos mereka, semua adalah pertama kalinya.

Tidak ada prasangka, tidak ada rasa takut.
Bebas bereksperimen dengan apapun tanpa harus tenggelam dalam pertimbangan yang sesungguhnya tidak perlu.


Sedangkan aku yang sekarang, mau tak mau harus menghayati bahwa anteseden selalu disertai dengan konsekuen. Tak bisa sembarang melompat atau mencoretkan warna.
Semua tindakan harus disertai dengan pemikiran dan perencenaan yang matang, baru dilakukan.

Di mata anak-anak yang menyukai berbagai warna pada kertasnya, dunia bagaikan jutaan krayon.
Mereka tak ragu untuk menorehkan semua warnanya dalam berbagai bentuk.

Sedangkan orang dewasa harus berpikir gambar apa yang hendak kubuat? Warna apa yang akan kupakai? Bagaimana aku harus memulai? Bagaimana kalau tidak seorangpun menganggap gambarku bagus? Bagaimana kalau gambarku tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan dalam benakku?

Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak rasa takut.
Amat bertolak belakang dengan anak-anak yang tanpa ragu membuat coretan pertamanya segera sesudah menggenggam krayon di tangan.

Seberapa besarkah effort yang diperlukan orang dewasa untuk mengembalikan excitement itu?
Di sela-sela rutinitas. Di antara masalah-masalah kehidupan.

Aku selalu meyakinkan diri dengan berupaya melihat ini semua sebagai tantangan.
Puzzle lain untuk diselesaikan.

Seandainya jiwa kanak-kanak itu tak berubah hingga manusia tumbuh dewasa, tentu tidak akan ada istilah distress.

Karena bagi anak-anak yang polos, hitam hanyalah sekedar warna baru.
Bukan ancaman.

1 comment:

  1. Salam kenal, Dilla. Kita ternyata satu fakultas nih, beda angkatan aja.

    Gak cuma jadi dewasa yang sulit, jadi mahasiswa juga sulit, karena title "MAHA" yang ada di depannya.

    Sayangnya, sama seperti kedewasaan, banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka sudah harus menyesuaikan diri dengan peran mereka yang baru dan malah tetap berperilaku seperti remaja/siswa-biasa.

    ReplyDelete