Wednesday, July 8, 2009

As I Wrote In My Happy Journal

Dua makhluk itu meramaikan hidupku
Tapi juga mengacak-acak kamarku

Mereka membuatku tidak bisa konsentrasi belajar
Tapi kehadiran mereka, membuatku jadi lebih semangat

Kuminta mereka jangan bergerak,
Mereka malah berguling-guling
Kusuruh mereka jangan bersuara,
Mereka malah menyanyikan lagu Avatar

Mereka membuatku berteriak
Karena kesal
Karena gemas
Karena mereka lucu

Mereka tertawa-tawa sambil menyodok betisku seolah itu bola billiard
Lalu mereka mulai menyodok boneka-boneka dan segala harta benda di kamarku

Sementara aku menahan tawa dan mencoba kembali berkonsentrasi pada psikologi eksperimen,
Mereka kembali berguling-guling dan meronta-ronta sambil menyanyikan lagu-lagu yang tidak masuk akal

Hmmmm
Apakah sepuluh tahun lagi kami masih bisa seperti ini?

Beberapa menit kemudian mereka merapikan kamarku dan pergi ke kamar mereka
Sedangkan aku harus tetap di kamar, berkutat dengan berkas-berkas eksperimen
Kamar jadi sepi

Aku bisa mendengar mereka kembali tertawa-tawa di kamar sebelah
Dan aku ingat,
Mereka adalah satu alasan mengapa aku tidak mau ke sekolah asrama di Jakarta
Mereka adalah alasan mengapa aku tidak pernah ingin menjadi dewasa


Karena aku ingin selalu bersama mereka
Aku ingin ikut berguling-guling tiap saat
Ikut menyanyikan lagu-lagu tidak masuk akal
Dan melakukan hal-hal bodoh lain yang selalu mereka lakukan dengan penuh kebebasan dan keceriaan
Mempertahankan kepolosan anak kecil sementara pada saat yang sama kami harus tumbuh dewasa

Dua makhluk itu adalah adikku,
Dinda dan Dimas.

Semoga apapun yang terjadi
Walau kita sudah tua dan punya segudang anak cucu,
Jiwa yang bebas dan ceria itu akan tetap ada

Hey, i love you monkeys! :D

Tuesday, July 7, 2009

Pemandangan Di Balik Jendela Angkot

Hari Kamis yang lalu aku pergi ke SMP 2 sendiri. Aku pergi naik angkot karena mobilnya sedang dipakai Bunda. Aku senang-senang saja, buatku itu hal yang menyenangkan. Ketika aku sedang sendirian di tengah keramaian kota seperti itu aku merasa lebih dekat dengan semesta. Aku jadi bisa melihat banyak hal yang selama ini tidak pernah kuperhatikan sebelumnya--hal-hal yang tidak kulihat ketika aku berkendara dengan mobil. Seluruh inderaku seolah lebih peka untuk menikmati atmosfer Bandung ini.

Dan pandanganku berhenti di pangkalan becak di pertigaan Pasir Koja. Laju angkot melambat karena seseorang yang duduk di belakang dengan karung besar di kakinya berteriak "Kiri" pada Pak Supir. Sepertinya angkot ini akan berhenti di pangkalan becak tempat mataku tertuju. Di mana semua Mang-Mang Becak tersenyum dan melambaikan tangan pada angkot yang kutumpangi ini, seperti sedang menyambut sesuatu. Wajah mereka tampak semangat dan sumringah. Aku terheran-heran, apa mau ada pawai? Siapa yang mereka sambut ini?

Pria yang duduk di belakang--yang tadi berteriak "kiri", melompat turun dari angkot. Dan beberapa Mang-Mang Becak langsung menghampiri angkot untuk bersama-sama mengangkut karung yang dibawanya. Aku melihat mereka tertawa, menyalami si Pria yang baru turun, dan saling menepuk punggung sambil bersenda gurau. Sungguh pemandangan yang luar biasa sekali.
Aku ingat lima tahun yang lalu di depan SD adikku ada pangkalan becak. Kalau aku berjalan menyusuri pangkalan becak itu aku bisa mendengar keluh kesah mereka. Kira-kira beginilah dialognya,

Mang Becak 1: "Hei, kamu udah dapet berapa?"
Mang Becak 2: "6000. Diem deh, nggak usah nanya-nanya saya dapet berapa."
Mang Becak 3: "Mending dapet 6000. Saya baru 2000. Hari gini 2000 dapet apa? Cuma dapet kerupuk."

Getir sekali ya? 2000 Rupiah untukku bisa dibilang nyaris tidak berarti. Andaikan raib dari dompet pasti aku tidak sadar. Tapi mereka, Mang-Mang becak itu, harus mengayuh dulu setengah kilometer untuk mendapatkan 2000 Rupiah.

Dan aku tekankan lagi, dialog di atas terjadi lima tahun yang lalu. Sekarang keadaan sudah lauh lebih sulit. Harga-harga melonjak lebih tinggi. Orang yang hidup susah makin banyak jumlahnya. Dan hidup jadi makin berat bagi rakyat kecil seperti Mang-Mang Becak itu.

Tapi mereka tertawa. Saling melontarkan gurauan dan terpingkal-pingkal di atas becak mereka. Aku bisa merasakan kehangatan dan keakraban di sinar mata mereka. Mungkin beberapa dari mereka hanya memiliki beberapa lembar ribuan sebagai hasil mengayuh seharian itu, mungkin dari mereka juga ada yang belum makan seharian. Tapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang tidak terlibat dalam keceriaan yang mungkin bersifat sementara itu.

Bagaimanapun detik itu aku benar-benar terhenyak. Masih terlintas di pikiranku, apa yang membuat mereka tampak bahagia seperti itu? Apakah karena kedatangan Pria dengan karung besar itu? Apakah mungkin karung itu berisi sesuatu yang nanti akan mereka nikmati bersama? Ataukah memang selalu demikian suasana di pangkalan becak itu? Mungkin mereka memang jenis orang yang selalu menikmati hidup apapun yang terjadi.

Aku tidak tahu. Dan mungkin tidak akan pernah tahu jawabannya.

Tapi apapun itu, yang menciptakan nuansa kekeluargaan di padatnya kota Bandung, di bawah terik matahari, pastilah sesuatu yang amat berharga. Karena bisa membuat mereka tertawa lebar di atas getirnya hidup yang mereka tempuh.

Tak terasa bibirku tersenyum. Masalah-masalahku terasa begitu kecil sekarang. Apalagi yang kukhawatirkan? Mang-Mang Becak saja bisa melupakan masalah mereka dan tertawa bahagia.

Aku bersyukur hari itu memutuskan untuk pergi dengan angkot. Aku tahu aku selalu bisa menemukan dan belajar sesuatu ketika aku membiarkan seluruh inderaku bekerja.

Dan ketika masalah kembali menghantui atau ketika airmataku mulai mengalir lagi, aku akan selalu mengingat pemandangan itu. Pemandangan di balik jendela angkot, di hari yang pahit dan panas, ketika Mang-Mang Becak bersenda gurau bersama :)

Salam Jumpa

Baru saja membaca salah satu jurnal lamaku yang kutulis sepanjang tahun 2009. Dan seperti halnya nasib jurnal-jurnalku yang lain, tulisanku di jurnal yang satu ini pun tak sempat tiba di penghujung halaman. Adapun penyesalan yang tertinggal hanyalah atas asas rasa sayang terhadap sisa-sisa lembaran yang tertinggal kosong ini. Karena bagiku setiap jurnal mewakili satu fragmen tersendiri dalam hidup. Dan siapa yang suka mengaduk-aduk fragmen kehidupannya, bahkan dalam sebuah jurnal yang boleh jadi sangat simbolik dan tak berarti sekalipun?

Lalu sekali lagi, seperti halnya jurnal-jurnalku yang lain, sisa-sisa lembaran ini pun berakhir polos. Hanya jadi penambah tinggi tumpukan koleksi jurnal tuaku. Teronggok, tak tersentuh.

Tapi itu baru soal fisik. Buah pikiranku, dalam bentuk yang sudah sangat konkrit.


Jadi, salam jumpa (kembali), blog tuaku yang setia.
Tidak seperti jurnal, kau tidak meninggalkanku dengan lembaran-lembaran kosong yang mengintimidasi.
Aku suka itu coy.