Semalam aku dan Buya pergi ke resepsi pernikahan putra sulung temannya. Dari undangannya, aku yakin resepsinya pasti luar biasa! Aku jarang tertarik dengan resepsi, kecuali saudara dan kerabat tentunya, tapi kali ini aku bersikeras agar Buya mengajakku.
Dan itu memang resepsi paling WOW yang pernah aku datangi! Dekorasinya luar biasa, kue pengantinnya piece of art!!, dan musik pengiringnya—wow aku suka sekali musik pengiringnya! Rasa-rasanya air mata haru sudah mau keluar saking senangnya aku di sana.
Ketika kami datang, kedua mempelai sedang berjalan-jalan menyalami para undangan.
Sang mempelai pria menjabat tanganku erat sambil mengucapkan terima kasih atas kedatangan kami.
Sementara itu aku mengagumi gaun putih mempelai wanita.
Cantik sekali… Aku ingin pakai gaun seperti itu juga nanti.
“Makasih yaa sudah datang… Nih ada bingkisan kecil…”
Mempelai wanita memberiku sebuah kotak berpita coklat. Di dalamnya ada biskuit berbentuk figur kedua pengantin. Sayang amat kalo dimakan.
“Wuaaah… Makasih cici!”
“Iyaa, biar cepet nyusul. Hehehe… ”
Buya langsung menarikku menjauh,
“Cepet nyusul, cepet nyusul! Enak aja! Tak jewer kamu nanti!”
Sunday, May 16, 2010
Mas Tukang Sayur Itu...
Aku sedang menonton tv ketika Bunda menyodorkan selembar lima puluh ribuan.
"Kaka, nih, kasihin ke Anto."
"Hah? Siapa Anto?"
"Tukang sayur. Tuh di bawah."
Nggak habis pikir juga sempat-sempatnya Bunda kenalan sama Mas Tukang Sayur itu. Barangkali mereka bertukar nomer hp juga -_-"
Setiap pagi Mas Anto berhenti di depan rumah dan membuat para penghuni melongok keluar saat dia dengan suara genit tingginya menyapa, "Yuuuurrr...." berhenti sejenak, lanjut lagi, "Sayuuuuurrrr...".
Lalu Bunda atau Hana akan bertransaksi dari balkon.
Sementara transaksi terjadi, aku dan adik-adikku akan kabur dan bersembunyi. Karena seringkali setelah itu kami disuruh ke bawah untuk membayar Mas Anto dan menerima belanjaan.
Walaupun enggan untuk mengangkat dan menggerakkan kaki ke bawah, tapi kadang aku menantikan juga saat bertransaksi dengannya.
Bukan, bukan karena Mas Anto ganteng -walaupun memang iya, dia hitam manis dan wajahnya bersih. OMG ngomong apa gue barusan?? Tapi aku menantikannya karena aku selalu senang melihatnya.
Tenang saudara-saudara, notes ini bukan bercerita tentang perasaan terpendam saya pada si Mas Tukang Sayur itu. Jangan keburu mengernyitkan hidung, dan silahkan lanjutkan membaca.
Aku tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Pernah suatu ketika Mas Anto itu sakit, jadi tukang sayur yang singgah di depan rumah kami hari itu seorang bapak-bapak tukang sayur yang sama sekali asing. Dan saat itu aku benar-benar menyadari perbedaan mereka.
Dibandingkan bapak itu, Mas Anto masih sangat muda, selalu memakai topi, dan entah kenapa aku memilki kesan bahwa dia sangat mensyukuri tiap detik hidupnya. Dia ramah, selalu tersenyum, dan berbicara dengan bahasa yang amat sopan. Bahkan ketika mood Bunda sedang tidak begitu bagus dan nada bicaranya terdengar galak saat sedang bertransaksi, dia tetap melayani dengan senyum dan tutur kata yang amat halus. (Di saat orang asing udah berpikir "buset, gue dimarahin!". No offense, Mom :p)
Setiap transaksi terjadi, walaupun uang yang dikasihnya selembar lima puluh ribu atau seratus ribu, dia selalu punya uang kembalian. Wow, kantong jaketnya tebal lho!
Mendapati gerobaknya nyaris kosong, aku bertanya, "Wah udah mau habis Mas dagangannya?"
Dan dia akan tersenyum, "Iya, nanti saya ambil lagi, terus jualan lagi."
"Makasih ya, Mas" sambil menerima belanjaan dari teralis pagar.
"Iyah, manga, neng, manga..." (maksudnya 'mangga' [bahasa sunda = silahkan], tapi huruf 'G'-nya terlalu meluruh rupanya, jadi aku dengernya 'manga', red.)
Kemudian aku akan menatapnya sebentar sampai dia mengayuh pergi. Entah menuju rumah-rumah berikutnya, atau ke pasar ngambil dagangan lagi.
Aku sering bertanya-tanya dalam hati.
Berapa usianya? Apakah dia sudah menikah? Berapa mulut di rumahnya yang harus diberi makan? Uang di kantong jaketnya itu banyak sekali, tapi berapa bagiankah yang menjadi untung bersihnya? Berapa lama dia harus jadi tukang sayur?
Lagi-lagi. Pertanyaan yang tidak kutemukan jawabannya. Tidak sampai hati juga aku bertanya langsung.
Nah, kembali ke waktu Mas Anto sakit, bapak-bapak penjual sayur yang asing ini nampak sangat kontras dibandingkan dengannya! Tidak banyak bicara, tidak juga tersenyum. Kegetiran nampak jelas di wajahnya. Entah karena dagangannya masih banyak, atau karena dia capek mengayuh berkeliling, atau harus memegang kenyataan bahwa dia hanyalah seorang tukang sayur, atau barangkali hari itu dia memang sedang badmood saja.
Ketika aku mengambil belanjaan dan mengucapkan terima kasih, si Mang itu tidak membalas dengan senyum seperti Mas Anto. Wajahnya kecut saat mengayuh gerobaknya.
Aku ingat sesaat sesudah aku mengambil belanjaan, aku langsung berucap pada diri sendiri,
Hih! Meuni jutek pisan Mang Tukang Sayur teh!
Bukan, bukan salah dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan. Mungkin pada saat itu aku hanya sedang lupa bahwa tidak semua orang melihat dunia dan segala kenyataan di atasnya sebagai sesuatu yang indah dan patut disyukuri.
Namun sejak saat itu aku semakin kagum melihat Mas Anto. Aku tidak pernah melihatnya berwajah masam, tidak juga kerutan di dahi. Aku tidak pernah mendapatinya sedang badmood. Nada suaranya ketika menjajakan dagangan pun tak berubah sejak pertama dia ke rumah kami.
Meskipun dahinya berkeringat dan kadang aku meringis karena gerobaknya menebarkan bebauan khas pasar, BBM naik dan harga-harga ikut naik, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang sedang bersusah hati.
Orang yang hebat, Mas Anto itu. Semoga keuntungannya berlipat ganda biar dia bisa membuka lapak dan tidak harus mengayuh kesana-kemari sepanjang hari.
"Manga, neng, manga..." katanya padaku pagi ini.
"Kaka, nih, kasihin ke Anto."
"Hah? Siapa Anto?"
"Tukang sayur. Tuh di bawah."
Nggak habis pikir juga sempat-sempatnya Bunda kenalan sama Mas Tukang Sayur itu. Barangkali mereka bertukar nomer hp juga -_-"
Setiap pagi Mas Anto berhenti di depan rumah dan membuat para penghuni melongok keluar saat dia dengan suara genit tingginya menyapa, "Yuuuurrr...." berhenti sejenak, lanjut lagi, "Sayuuuuurrrr...".
Lalu Bunda atau Hana akan bertransaksi dari balkon.
Sementara transaksi terjadi, aku dan adik-adikku akan kabur dan bersembunyi. Karena seringkali setelah itu kami disuruh ke bawah untuk membayar Mas Anto dan menerima belanjaan.
Walaupun enggan untuk mengangkat dan menggerakkan kaki ke bawah, tapi kadang aku menantikan juga saat bertransaksi dengannya.
Bukan, bukan karena Mas Anto ganteng -walaupun memang iya, dia hitam manis dan wajahnya bersih. OMG ngomong apa gue barusan?? Tapi aku menantikannya karena aku selalu senang melihatnya.
Tenang saudara-saudara, notes ini bukan bercerita tentang perasaan terpendam saya pada si Mas Tukang Sayur itu. Jangan keburu mengernyitkan hidung, dan silahkan lanjutkan membaca.
Aku tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Pernah suatu ketika Mas Anto itu sakit, jadi tukang sayur yang singgah di depan rumah kami hari itu seorang bapak-bapak tukang sayur yang sama sekali asing. Dan saat itu aku benar-benar menyadari perbedaan mereka.
Dibandingkan bapak itu, Mas Anto masih sangat muda, selalu memakai topi, dan entah kenapa aku memilki kesan bahwa dia sangat mensyukuri tiap detik hidupnya. Dia ramah, selalu tersenyum, dan berbicara dengan bahasa yang amat sopan. Bahkan ketika mood Bunda sedang tidak begitu bagus dan nada bicaranya terdengar galak saat sedang bertransaksi, dia tetap melayani dengan senyum dan tutur kata yang amat halus. (Di saat orang asing udah berpikir "buset, gue dimarahin!". No offense, Mom :p)
Setiap transaksi terjadi, walaupun uang yang dikasihnya selembar lima puluh ribu atau seratus ribu, dia selalu punya uang kembalian. Wow, kantong jaketnya tebal lho!
Mendapati gerobaknya nyaris kosong, aku bertanya, "Wah udah mau habis Mas dagangannya?"
Dan dia akan tersenyum, "Iya, nanti saya ambil lagi, terus jualan lagi."
"Makasih ya, Mas" sambil menerima belanjaan dari teralis pagar.
"Iyah, manga, neng, manga..." (maksudnya 'mangga' [bahasa sunda = silahkan], tapi huruf 'G'-nya terlalu meluruh rupanya, jadi aku dengernya 'manga', red.)
Kemudian aku akan menatapnya sebentar sampai dia mengayuh pergi. Entah menuju rumah-rumah berikutnya, atau ke pasar ngambil dagangan lagi.
Aku sering bertanya-tanya dalam hati.
Berapa usianya? Apakah dia sudah menikah? Berapa mulut di rumahnya yang harus diberi makan? Uang di kantong jaketnya itu banyak sekali, tapi berapa bagiankah yang menjadi untung bersihnya? Berapa lama dia harus jadi tukang sayur?
Lagi-lagi. Pertanyaan yang tidak kutemukan jawabannya. Tidak sampai hati juga aku bertanya langsung.
Nah, kembali ke waktu Mas Anto sakit, bapak-bapak penjual sayur yang asing ini nampak sangat kontras dibandingkan dengannya! Tidak banyak bicara, tidak juga tersenyum. Kegetiran nampak jelas di wajahnya. Entah karena dagangannya masih banyak, atau karena dia capek mengayuh berkeliling, atau harus memegang kenyataan bahwa dia hanyalah seorang tukang sayur, atau barangkali hari itu dia memang sedang badmood saja.
Ketika aku mengambil belanjaan dan mengucapkan terima kasih, si Mang itu tidak membalas dengan senyum seperti Mas Anto. Wajahnya kecut saat mengayuh gerobaknya.
Aku ingat sesaat sesudah aku mengambil belanjaan, aku langsung berucap pada diri sendiri,
Hih! Meuni jutek pisan Mang Tukang Sayur teh!
Bukan, bukan salah dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan. Mungkin pada saat itu aku hanya sedang lupa bahwa tidak semua orang melihat dunia dan segala kenyataan di atasnya sebagai sesuatu yang indah dan patut disyukuri.
Namun sejak saat itu aku semakin kagum melihat Mas Anto. Aku tidak pernah melihatnya berwajah masam, tidak juga kerutan di dahi. Aku tidak pernah mendapatinya sedang badmood. Nada suaranya ketika menjajakan dagangan pun tak berubah sejak pertama dia ke rumah kami.
Meskipun dahinya berkeringat dan kadang aku meringis karena gerobaknya menebarkan bebauan khas pasar, BBM naik dan harga-harga ikut naik, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang sedang bersusah hati.
Orang yang hebat, Mas Anto itu. Semoga keuntungannya berlipat ganda biar dia bisa membuka lapak dan tidak harus mengayuh kesana-kemari sepanjang hari.
"Manga, neng, manga..." katanya padaku pagi ini.
Cerita Terlalu Sore
Duduk sendirian di pintu masuk ruangan, dengan sejumlah barang dagangan tersusun rapi di meja di hadapnya. Gadis itu menegakkan kepala dan mengusap-usap lehernya yang berat. Tentu saja, hampir tiga jam dia asyik menunduk dengan bukunya. Sesekali dia mengangkat kepala untuk melayani satu-dua orang yang hanya membeli permen atau keripik pedas. Lalu dia kembali tenggelam dalam bacaannya.
Hari sudah amat sore untuk berjualan. Mungkin tenaganya tidak terlalu dibutuhkan pula. Tak banyak orang lewat di sepanjang lorong pada saat seperti itu. Teman-temannya keheranan dengan keputusannya menjaga toko seorang diri sore itu. Dia menepis, "Aku baru sekali jaga toko. Lagipula aku sudah memilih hari ini dan besok. Tak masalah walau harus sendirian pun."
Alasan itu tidak salah. Tapi sejak dia meminjam buku yang asyik dibacanya itu, alasan yang lebih essensial yang membuatnya bersikeras untuk menetap di sana adalah karena dia butuh tempat untuk sendirian dengan bukunya.
Ah, ketenangan. Akhirnya... Dia tersenyum dalam hati ketika teman terakhirnya pulang.
Dia jarang berada di kampus sampai sesore itu. Sendirian pula. Baru tersadar, cahaya makin meremang.
Langit mendung dan lorong yang sepi, ditambah kesendirian - sudah lebih dari cukup untuk membuat imaji tenggelam dalam atmosfer horror di kepalanya. Dia mulai mengkhayalkan bayangan-bayangan dan suara-suara dalam mimpi buruknya. Lalu tiba-tiba hp nya berbunyi. Tulisan "Ayah" terpampang di layar. Ketakutan tak berdasar yang nyaris mendekati puncak itu perlahan surut, dan dia bernafas lega.
"Ada apa, Yah?" tukasnya.
"Ayah lagi di toko bangunan, di jalan Soekarno-Hatta. Sampai kampusmu kira-kira tiga puluh menit lagi."
Dia melirik jam lalu merengut. Tiga puluh menit lagi? Huuh. Seharusnya aku sudah dijemput sejak tiga puluh menit yang lalu!
"Ya sudah..." jawab gadis itu, pasrah. Tak ada gunanya juga mengeluh.
Tiba-tiba perutnya bergemuruh, "Eh Ayah, aku lapar... Tadi nggak sempat makan. Belikan makanan, dong," pintanya.
"Iya, sama. Aku dan adikmu pun belum makan. Nanti kita ke restoran, ya?" wajahnya langsung sumringah mendengarnya.
"Asyik... Bener ya? Ke restoran ya?"
"Iyaaa... Tunggu tiga puluh menit lagi, oke?"
"Oke, dadaah."
Gadis itu kembali menunduk pada bukunya. Tapi sekarang sambil tersenyum. Gemuruh di perutnya mengingatkan bahwa dia memang belum makan sejak siang. Rasa lapar mulai menyiksanya.
Tapi membayangkan akan pergi ke restoran dengan Ayah dan adik laki-lakinya membuatnya sanggup bertahan lebih lama lagi. Dia selalu senang bepergian dengan ayahnya. Bukan karena ayahnya akan mengizinkan dia memesan apapun, tapi juga karena dia akan menggenggam dialog dan nuansa menyenangkan yang akan diperolehnya nanti.
Perutnya bergemuruh lagi. Belum pernah keripik dan cemilan-cemilan itu tampak begitu menggoda. Tapi tidak!, katanya pada diri sendiri. Aku tidak mau merusak nafsu makanku saat di restoran nanti!, pikirnya mantap.
Baru saja dia mencoba kembali berkonsentrasi pada bacaannya, sang Ketua Senat datang memasuki ruangan. Mereka berbasa-basi sebentar, sampai akhirnya memutuskan untuk menutup toko yang dijalankan oleh anggota Senat itu.
Benar, hari sudah terlalu sore.
Mereka berpisah di tangga. Sang Ketua Senat menghampiri kawannya, sementara dia berjalan menuju foodcourt sambil memandang langit gelap. Dingin amat menusuk meski hujan tak terlalu deras. Hanya awan yang menggumpal kelabu dan titik-titik gerimis.
Sulit menemukan tempat kosong di foodcourt pada hari seperti itu. Semua orang enggan untuk keluar. Mendadak foodcourt terasa kurang lapang untuk mereka semua.
Dia berjalan melewati gerai makanan dengan aroma pastry nenas kesukaannya. Perutnya makin bergemuruh. Tidak!, perintahnya pada perutnya. Akan kusimpan nafsu makanku untuk nanti, bersama Ayah.
Dia terus berlalu ke bagian foodcourt yang paling dalam. Jendela-jendela besar yang meniupkan angin lembab menjadi kesimpulan yang cukup deskriptif mengapa masih banyak bangku kosong di situ.
Dia duduk di tempat yang agak jauh dari jendela. Dibuka bukunya, dan langsung melanjutkan membaca. Mengabaikan udara dingin yang masih menggapai, maupun kenyataan bahwa dia seorang diri di dalam keramaian. Ah, aku tak peduli. Aku akan mendapat sore yang menyenangkan bersama Ayah. Masa bodoh betapa menyebalkan dan dingin. Lapar, aku masih bisa tahan. Dia meyakinkan diri.
Lalu hp-nya bergetar. Sms dari Ayah,
"Kak, belilah sesuatu untuk kita makan bersama di mobil. Kita nggak jadi ke restoran. Sudah terlalu sore."
Hari sudah amat sore untuk berjualan. Mungkin tenaganya tidak terlalu dibutuhkan pula. Tak banyak orang lewat di sepanjang lorong pada saat seperti itu. Teman-temannya keheranan dengan keputusannya menjaga toko seorang diri sore itu. Dia menepis, "Aku baru sekali jaga toko. Lagipula aku sudah memilih hari ini dan besok. Tak masalah walau harus sendirian pun."
Alasan itu tidak salah. Tapi sejak dia meminjam buku yang asyik dibacanya itu, alasan yang lebih essensial yang membuatnya bersikeras untuk menetap di sana adalah karena dia butuh tempat untuk sendirian dengan bukunya.
Ah, ketenangan. Akhirnya... Dia tersenyum dalam hati ketika teman terakhirnya pulang.
Dia jarang berada di kampus sampai sesore itu. Sendirian pula. Baru tersadar, cahaya makin meremang.
Langit mendung dan lorong yang sepi, ditambah kesendirian - sudah lebih dari cukup untuk membuat imaji tenggelam dalam atmosfer horror di kepalanya. Dia mulai mengkhayalkan bayangan-bayangan dan suara-suara dalam mimpi buruknya. Lalu tiba-tiba hp nya berbunyi. Tulisan "Ayah" terpampang di layar. Ketakutan tak berdasar yang nyaris mendekati puncak itu perlahan surut, dan dia bernafas lega.
"Ada apa, Yah?" tukasnya.
"Ayah lagi di toko bangunan, di jalan Soekarno-Hatta. Sampai kampusmu kira-kira tiga puluh menit lagi."
Dia melirik jam lalu merengut. Tiga puluh menit lagi? Huuh. Seharusnya aku sudah dijemput sejak tiga puluh menit yang lalu!
"Ya sudah..." jawab gadis itu, pasrah. Tak ada gunanya juga mengeluh.
Tiba-tiba perutnya bergemuruh, "Eh Ayah, aku lapar... Tadi nggak sempat makan. Belikan makanan, dong," pintanya.
"Iya, sama. Aku dan adikmu pun belum makan. Nanti kita ke restoran, ya?" wajahnya langsung sumringah mendengarnya.
"Asyik... Bener ya? Ke restoran ya?"
"Iyaaa... Tunggu tiga puluh menit lagi, oke?"
"Oke, dadaah."
Gadis itu kembali menunduk pada bukunya. Tapi sekarang sambil tersenyum. Gemuruh di perutnya mengingatkan bahwa dia memang belum makan sejak siang. Rasa lapar mulai menyiksanya.
Tapi membayangkan akan pergi ke restoran dengan Ayah dan adik laki-lakinya membuatnya sanggup bertahan lebih lama lagi. Dia selalu senang bepergian dengan ayahnya. Bukan karena ayahnya akan mengizinkan dia memesan apapun, tapi juga karena dia akan menggenggam dialog dan nuansa menyenangkan yang akan diperolehnya nanti.
Perutnya bergemuruh lagi. Belum pernah keripik dan cemilan-cemilan itu tampak begitu menggoda. Tapi tidak!, katanya pada diri sendiri. Aku tidak mau merusak nafsu makanku saat di restoran nanti!, pikirnya mantap.
Baru saja dia mencoba kembali berkonsentrasi pada bacaannya, sang Ketua Senat datang memasuki ruangan. Mereka berbasa-basi sebentar, sampai akhirnya memutuskan untuk menutup toko yang dijalankan oleh anggota Senat itu.
Benar, hari sudah terlalu sore.
Mereka berpisah di tangga. Sang Ketua Senat menghampiri kawannya, sementara dia berjalan menuju foodcourt sambil memandang langit gelap. Dingin amat menusuk meski hujan tak terlalu deras. Hanya awan yang menggumpal kelabu dan titik-titik gerimis.
Sulit menemukan tempat kosong di foodcourt pada hari seperti itu. Semua orang enggan untuk keluar. Mendadak foodcourt terasa kurang lapang untuk mereka semua.
Dia berjalan melewati gerai makanan dengan aroma pastry nenas kesukaannya. Perutnya makin bergemuruh. Tidak!, perintahnya pada perutnya. Akan kusimpan nafsu makanku untuk nanti, bersama Ayah.
Dia terus berlalu ke bagian foodcourt yang paling dalam. Jendela-jendela besar yang meniupkan angin lembab menjadi kesimpulan yang cukup deskriptif mengapa masih banyak bangku kosong di situ.
Dia duduk di tempat yang agak jauh dari jendela. Dibuka bukunya, dan langsung melanjutkan membaca. Mengabaikan udara dingin yang masih menggapai, maupun kenyataan bahwa dia seorang diri di dalam keramaian. Ah, aku tak peduli. Aku akan mendapat sore yang menyenangkan bersama Ayah. Masa bodoh betapa menyebalkan dan dingin. Lapar, aku masih bisa tahan. Dia meyakinkan diri.
Lalu hp-nya bergetar. Sms dari Ayah,
"Kak, belilah sesuatu untuk kita makan bersama di mobil. Kita nggak jadi ke restoran. Sudah terlalu sore."
Subscribe to:
Posts (Atom)