Saturday, July 18, 2015

My Sassy Sister

Hearing me sob, my sister -who sat on the other side of the room- asked me, "you crying?"
Still from where she sat, -barely even looked at me-, she suddenly raised her voice,
"My God, are you reading articles about Yulin again? Why on earth would you do that to yourself, Ka???" 


So until about 3 weeks ago, I had this phase of crying over the cats and dogs in Yulin, China. I Googled about it every night only to found that most of those pure and helpless creatures were still being tortured to death, despite numerous of animal welfare activists' movements to save as much as they could.

After not Googling about it for a while, -knowing how depressing it could be-, a moment ago I decided to Googled it. I guess I was hoping to find the uncivilized festival being banned or something.

Didn't find what I was looking for, I started to cry, again. And that's when the dialogue above took place.


It's just so cute how my sister can tell the cause of my tears in a matter of second.
I hope you won't read this post, 'lil sis. Don't want to get you so cocky.

Tuesday, March 5, 2013

Ketika kamu memanggilku "Superman" atau "pacar super", jangan pernah lupa, sumber "tenaga super" itu datangnya dari kamu.
- Katanya padaku pagi ini, beberapa saat sebelum ia mulai bekerja.

Friday, February 15, 2013

Oh, Crap

Karena saya tidak mau menjadi dia
Dan saya tahu betul bagaimana caranya untuk tidak menjadi dia
Waktu adalah guru yang baik
Tapi hidup adalah kejutan yang selalu bisa membuat rasio jungkir balik

Monday, April 16, 2012

Salam Gelembung

Duduk ia seorang diri di balkon meniup gelembungnya
Ada memori terkuak dalam tiap gelembung yang menari bersama angin
Mata sembabnya berusaha menangkap tiap tarian gelembung itu
Mengenang tawa, asa, serta tiap inci perjalanan yang pernah mereka tuai bersama

Mata gadis itu kembali nanar waktu gelembung-gelembungnya didera angin
Susah payah ia menarik nafas dari dadanya yang sesak sebelum kembali meniup

Satu tiupan lembut dan panjang,
Lalu puluhan gelembung kecil lahir dari lingkaran kawat di genggam tangannya yang bergetar

Ia tersenyum memandangi nafasnya yang kemudian melebur jadi satu bersama angin
"Aku kirim doa dan rindu untukmu lewat udara", bisiknya dalam hati

Tuesday, December 13, 2011

Gombalan Kertas Putih

Dear the love of my life,
It's been a while since the last time i wrote something on you.
How are you? Do you miss me as much as i do?


Aku selalu rindu menuang pikiran di atas permukaan putihmu yang menggoda. Di tengah sepi atau ramai, aku mengkhayalkanmu dan aliran kata-kata yang kuuntai di dalam kepala. Terjebak dalam rutinitas dan pikiran yang bergemuruh layaknya ombak marah selalu menjadi alasan yang menjauhkanku darimu.

Iya, alasan.
Layaknya konflik yang harus diselesaikan dengan menghadapi permasalahan secara langsung, dibutuhkan keberanian yang besar sebagai pemicu agar mampu menghadapinya.
Seperti itulah hubungan kita sekarang.

Ada takut menyeruak tatkala jemari ini berhenti menari riang. Bahkan untaian kataku pun tidak pernah ada yang sungguh-sungguh selesai kuutarakan. Seperti pelari marathon menabrak dinding tak terlihat yang membuatnya tak lagi sanggup berlari. Dinding yang sama pula yang menghentikan laju pikiran tatkala aku berada di hadapmu.

Terlalu lama aku membiarkan pikiran berkecamuk tanpa memberimu kesempatan untuk ikut terlibat. Sekarang, ketika waktu sungguh memberi kesempatan bagi kita untuk mencoba memulai kembali, untaian kata yang selama ini menetap dalam pikiran seolah menguap entah ke mana.

Aku seperti pecinta yang kikuk. Hanya mampu merindu tanpa mengerahkan segala upaya. Membuatku jadi pendusta, karena berkali-kali melanggar janji untuk mewarnai ruangmu.

Sedang kau tahu pasti bahwa di satu sudut dalam ruangku, aku selalu mendambamu.

My dear blank white pages,
Stop being so hard on me, would you?

Sunday, May 16, 2010

Biar Cepet Nyusul...

Semalam aku dan Buya pergi ke resepsi pernikahan putra sulung temannya. Dari undangannya, aku yakin resepsinya pasti luar biasa! Aku jarang tertarik dengan resepsi, kecuali saudara dan kerabat tentunya, tapi kali ini aku bersikeras agar Buya mengajakku.

Dan itu memang resepsi paling WOW yang pernah aku datangi! Dekorasinya luar biasa, kue pengantinnya piece of art!!, dan musik pengiringnya—wow aku suka sekali musik pengiringnya! Rasa-rasanya air mata haru sudah mau keluar saking senangnya aku di sana.

Ketika kami datang, kedua mempelai sedang berjalan-jalan menyalami para undangan.
Sang mempelai pria menjabat tanganku erat sambil mengucapkan terima kasih atas kedatangan kami.
Sementara itu aku mengagumi gaun putih mempelai wanita.
Cantik sekali… Aku ingin pakai gaun seperti itu juga nanti.

“Makasih yaa sudah datang… Nih ada bingkisan kecil…”
Mempelai wanita memberiku sebuah kotak berpita coklat. Di dalamnya ada biskuit berbentuk figur kedua pengantin. Sayang amat kalo dimakan.
“Wuaaah… Makasih cici!”
“Iyaa, biar cepet nyusul. Hehehe… ”

Buya langsung menarikku menjauh,
Cepet nyusul, cepet nyusul! Enak aja! Tak jewer kamu nanti!

Mas Tukang Sayur Itu...

Aku sedang menonton tv ketika Bunda menyodorkan selembar lima puluh ribuan.
"Kaka, nih, kasihin ke Anto."
"Hah? Siapa Anto?"
"Tukang sayur. Tuh di bawah."

Nggak habis pikir juga sempat-sempatnya Bunda kenalan sama Mas Tukang Sayur itu. Barangkali mereka bertukar nomer hp juga -_-"

Setiap pagi Mas Anto berhenti di depan rumah dan membuat para penghuni melongok keluar saat dia dengan suara genit tingginya menyapa, "Yuuuurrr...." berhenti sejenak, lanjut lagi, "Sayuuuuurrrr...".
Lalu Bunda atau Hana akan bertransaksi dari balkon.
Sementara transaksi terjadi, aku dan adik-adikku akan kabur dan bersembunyi. Karena seringkali setelah itu kami disuruh ke bawah untuk membayar Mas Anto dan menerima belanjaan.

Walaupun enggan untuk mengangkat dan menggerakkan kaki ke bawah, tapi kadang aku menantikan juga saat bertransaksi dengannya.
Bukan, bukan karena Mas Anto ganteng -walaupun memang iya, dia hitam manis dan wajahnya bersih. OMG ngomong apa gue barusan?? Tapi aku menantikannya karena aku selalu senang melihatnya.

Tenang saudara-saudara, notes ini bukan bercerita tentang perasaan terpendam saya pada si Mas Tukang Sayur itu. Jangan keburu mengernyitkan hidung, dan silahkan lanjutkan membaca.

Aku tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Pernah suatu ketika Mas Anto itu sakit, jadi tukang sayur yang singgah di depan rumah kami hari itu seorang bapak-bapak tukang sayur yang sama sekali asing. Dan saat itu aku benar-benar menyadari perbedaan mereka.

Dibandingkan bapak itu, Mas Anto masih sangat muda, selalu memakai topi, dan entah kenapa aku memilki kesan bahwa dia sangat mensyukuri tiap detik hidupnya. Dia ramah, selalu tersenyum, dan berbicara dengan bahasa yang amat sopan. Bahkan ketika mood Bunda sedang tidak begitu bagus dan nada bicaranya terdengar galak saat sedang bertransaksi, dia tetap melayani dengan senyum dan tutur kata yang amat halus. (Di saat orang asing udah berpikir "buset, gue dimarahin!". No offense, Mom :p)

Setiap transaksi terjadi, walaupun uang yang dikasihnya selembar lima puluh ribu atau seratus ribu, dia selalu punya uang kembalian. Wow, kantong jaketnya tebal lho!
Mendapati gerobaknya nyaris kosong, aku bertanya, "Wah udah mau habis Mas dagangannya?"
Dan dia akan tersenyum, "Iya, nanti saya ambil lagi, terus jualan lagi."
"Makasih ya, Mas" sambil menerima belanjaan dari teralis pagar.
"Iyah, manga, neng, manga..." (maksudnya 'mangga' [bahasa sunda = silahkan], tapi huruf 'G'-nya terlalu meluruh rupanya, jadi aku dengernya 'manga', red.)

Kemudian aku akan menatapnya sebentar sampai dia mengayuh pergi. Entah menuju rumah-rumah berikutnya, atau ke pasar ngambil dagangan lagi.

Aku sering bertanya-tanya dalam hati.
Berapa usianya? Apakah dia sudah menikah? Berapa mulut di rumahnya yang harus diberi makan? Uang di kantong jaketnya itu banyak sekali, tapi berapa bagiankah yang menjadi untung bersihnya? Berapa lama dia harus jadi tukang sayur?
Lagi-lagi. Pertanyaan yang tidak kutemukan jawabannya. Tidak sampai hati juga aku bertanya langsung.

Nah, kembali ke waktu Mas Anto sakit, bapak-bapak penjual sayur yang asing ini nampak sangat kontras dibandingkan dengannya! Tidak banyak bicara, tidak juga tersenyum. Kegetiran nampak jelas di wajahnya. Entah karena dagangannya masih banyak, atau karena dia capek mengayuh berkeliling, atau harus memegang kenyataan bahwa dia hanyalah seorang tukang sayur, atau barangkali hari itu dia memang sedang badmood saja.

Ketika aku mengambil belanjaan dan mengucapkan terima kasih, si Mang itu tidak membalas dengan senyum seperti Mas Anto. Wajahnya kecut saat mengayuh gerobaknya.
Aku ingat sesaat sesudah aku mengambil belanjaan, aku langsung berucap pada diri sendiri,
Hih! Meuni jutek pisan Mang Tukang Sayur teh!

Bukan, bukan salah dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan. Mungkin pada saat itu aku hanya sedang lupa bahwa tidak semua orang melihat dunia dan segala kenyataan di atasnya sebagai sesuatu yang indah dan patut disyukuri.

Namun sejak saat itu aku semakin kagum melihat Mas Anto. Aku tidak pernah melihatnya berwajah masam, tidak juga kerutan di dahi. Aku tidak pernah mendapatinya sedang badmood. Nada suaranya ketika menjajakan dagangan pun tak berubah sejak pertama dia ke rumah kami.

Meskipun dahinya berkeringat dan kadang aku meringis karena gerobaknya menebarkan bebauan khas pasar, BBM naik dan harga-harga ikut naik, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang sedang bersusah hati.

Orang yang hebat, Mas Anto itu. Semoga keuntungannya berlipat ganda biar dia bisa membuka lapak dan tidak harus mengayuh kesana-kemari sepanjang hari.

"Manga, neng, manga..." katanya padaku pagi ini.