Aku sedang menonton tv ketika Bunda menyodorkan selembar lima puluh ribuan.
"Kaka, nih, kasihin ke Anto."
"Hah? Siapa Anto?"
"Tukang sayur. Tuh di bawah."
Nggak habis pikir juga sempat-sempatnya Bunda kenalan sama Mas Tukang Sayur itu. Barangkali mereka bertukar nomer hp juga -_-"
Setiap pagi Mas Anto berhenti di depan rumah dan membuat para penghuni melongok keluar saat dia dengan suara genit tingginya menyapa, "Yuuuurrr...." berhenti sejenak, lanjut lagi, "Sayuuuuurrrr...".
Lalu Bunda atau Hana akan bertransaksi dari balkon.
Sementara transaksi terjadi, aku dan adik-adikku akan kabur dan bersembunyi. Karena seringkali setelah itu kami disuruh ke bawah untuk membayar Mas Anto dan menerima belanjaan.
Walaupun enggan untuk mengangkat dan menggerakkan kaki ke bawah, tapi kadang aku menantikan juga saat bertransaksi dengannya.
Bukan, bukan karena Mas Anto ganteng -walaupun memang iya, dia hitam manis dan wajahnya bersih. OMG ngomong apa gue barusan?? Tapi aku menantikannya karena aku selalu senang melihatnya.
Tenang saudara-saudara, notes ini bukan bercerita tentang perasaan terpendam saya pada si Mas Tukang Sayur itu. Jangan keburu mengernyitkan hidung, dan silahkan lanjutkan membaca.
Aku tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Pernah suatu ketika Mas Anto itu sakit, jadi tukang sayur yang singgah di depan rumah kami hari itu seorang bapak-bapak tukang sayur yang sama sekali asing. Dan saat itu aku benar-benar menyadari perbedaan mereka.
Dibandingkan bapak itu, Mas Anto masih sangat muda, selalu memakai topi, dan entah kenapa aku memilki kesan bahwa dia sangat mensyukuri tiap detik hidupnya. Dia ramah, selalu tersenyum, dan berbicara dengan bahasa yang amat sopan. Bahkan ketika mood Bunda sedang tidak begitu bagus dan nada bicaranya terdengar galak saat sedang bertransaksi, dia tetap melayani dengan senyum dan tutur kata yang amat halus. (Di saat orang asing udah berpikir "buset, gue dimarahin!". No offense, Mom :p)
Setiap transaksi terjadi, walaupun uang yang dikasihnya selembar lima puluh ribu atau seratus ribu, dia selalu punya uang kembalian. Wow, kantong jaketnya tebal lho!
Mendapati gerobaknya nyaris kosong, aku bertanya, "Wah udah mau habis Mas dagangannya?"
Dan dia akan tersenyum, "Iya, nanti saya ambil lagi, terus jualan lagi."
"Makasih ya, Mas" sambil menerima belanjaan dari teralis pagar.
"Iyah, manga, neng, manga..." (maksudnya 'mangga' [bahasa sunda = silahkan], tapi huruf 'G'-nya terlalu meluruh rupanya, jadi aku dengernya 'manga', red.)
Kemudian aku akan menatapnya sebentar sampai dia mengayuh pergi. Entah menuju rumah-rumah berikutnya, atau ke pasar ngambil dagangan lagi.
Aku sering bertanya-tanya dalam hati.
Berapa usianya? Apakah dia sudah menikah? Berapa mulut di rumahnya yang harus diberi makan? Uang di kantong jaketnya itu banyak sekali, tapi berapa bagiankah yang menjadi untung bersihnya? Berapa lama dia harus jadi tukang sayur?
Lagi-lagi. Pertanyaan yang tidak kutemukan jawabannya. Tidak sampai hati juga aku bertanya langsung.
Nah, kembali ke waktu Mas Anto sakit, bapak-bapak penjual sayur yang asing ini nampak sangat kontras dibandingkan dengannya! Tidak banyak bicara, tidak juga tersenyum. Kegetiran nampak jelas di wajahnya. Entah karena dagangannya masih banyak, atau karena dia capek mengayuh berkeliling, atau harus memegang kenyataan bahwa dia hanyalah seorang tukang sayur, atau barangkali hari itu dia memang sedang badmood saja.
Ketika aku mengambil belanjaan dan mengucapkan terima kasih, si Mang itu tidak membalas dengan senyum seperti Mas Anto. Wajahnya kecut saat mengayuh gerobaknya.
Aku ingat sesaat sesudah aku mengambil belanjaan, aku langsung berucap pada diri sendiri,
Hih! Meuni jutek pisan Mang Tukang Sayur teh!
Bukan, bukan salah dia. Aku tidak bermaksud menyalahkan. Mungkin pada saat itu aku hanya sedang lupa bahwa tidak semua orang melihat dunia dan segala kenyataan di atasnya sebagai sesuatu yang indah dan patut disyukuri.
Namun sejak saat itu aku semakin kagum melihat Mas Anto. Aku tidak pernah melihatnya berwajah masam, tidak juga kerutan di dahi. Aku tidak pernah mendapatinya sedang badmood. Nada suaranya ketika menjajakan dagangan pun tak berubah sejak pertama dia ke rumah kami.
Meskipun dahinya berkeringat dan kadang aku meringis karena gerobaknya menebarkan bebauan khas pasar, BBM naik dan harga-harga ikut naik, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang sedang bersusah hati.
Orang yang hebat, Mas Anto itu. Semoga keuntungannya berlipat ganda biar dia bisa membuka lapak dan tidak harus mengayuh kesana-kemari sepanjang hari.
"Manga, neng, manga..." katanya padaku pagi ini.